SELILIT PENJARA SUCI

Oleh: Siti Saadah

Sinar matahari porak-porandakan kesejukan hari. Terasa gerah. Padahal sedang dikamar pondok, bagaimana kalau di dalam ruang kelasku yang sempit itu? Untung saja pulang sekolah lebih awal. Kalau tidak, aku membayangkan tubuhku gerah kepanasan di ruang kelas yang menjelma oven di siang hari. Tiga hari kedepan sekolahku memang pulang lebih awal, yaitu saat bel istirahat, karena setelah istirahat dipakai anak kelas tiga untuk ujian try out, bulan-bulan ini siswa kelas tiga MTs tampangnya seperti berubah, tidak banyak omong. Semakin rajin beribadah, mereka tidak mau atau lebih tepatnya istirahat dari begejekan, atau ngerumpi di pondok dan di kelas saat jam belajar. UAN memang punya kekuatan magic untuk merubah perilaku orang yang biasa meremehkan waktu menjadi menghargainya.

Weh..wajahmu kok pengap begitu, sudah ambil makan belum?” lamunanku buyar mendengar suara cempreng Rosy.
“Masih males.” Jawabku asal.
“Ke perpust aja yuk!” Digaetnya tanganku, “Baiklah, dari pada bengong di kamar.” Kubenahi jilbab dan sarungku. Di dalam pondok sudah biasa santri putri memakai sarung dan tidak boleh melepas kerudung, meski tidak dijilbabkan setidaknya disampirkan ke kepala menutupi rambut.


Pak Kerempeng

      Oleh: Maryam Zakaria




“Kapan hasil tes darah itu bisa diambil Key?”
Aku hanya diam. Bukan aku tak mendengar atau tak peduli dengan pertanyaan Kepala Sekolah, hanya saja ada sesuatu yang membuatku berpikir setelah pulang dari labolaorium itu. Tempat di mana aku baru saja menjalani pengambilan darah untuk pemeriksaan trombosit dan anti amoeba setelah tadi malam memeriksakan diri ke dokter atas keluhan gangguan pencernaan yang telah kuderita selama tiga tahun terakhir.

“Key, sabar ya. Jangan sedih, Allah bersamamu.”
Kusambut nasehat itu dengan senyuman hangat. Perlahan kuraba bekas pengambilan darah itu di lengan kananku sambil menatap wajah teduh di hadapanku. “Kekey tidak apa-apa kok Bu. Sebelum pengambilan darah tadi, Kekey memang takut. Sebab sebelumnya tak pernah menjalani pengambilan darah seperti itu. Sekarang Kekey tidak takut lagi. Semoga Kekey bisa sabar menunggu dan menghadapi hasilnya nanti. Tapi….”

“Kenapa?” sepasang kening di depanku sedikit berkerut.
“Ada yang membuat saya berpikir Bu.” Kuperbaiki posisi duduk sebelum melanjutkan cerita. “Kok bisa ya orang yang bekerja di dunia kesehatan itu menderita kekurangan gizi?”
“Maksud kamu?”
“Tadi sebelum pengambilan darah, saya harus menunjukkan dua lembar kertas yang diberikan dokter tadi malam. Lalu membayar pemeriksaan di meja itu juga. Ibu tahu tidak, keadaan laki-laki yang bertugas di meja itu sepertinya sangat bertolak belakang dengan dunianya. Dia terlihat sangat kurus, kulitnya kecokelatan dan rambutnya berdiri. Dia seperti orang yang baru saja tersambar petir.”


KADO ISTIMEWA

Oleh: Alvi Darojaturrois

Detik-detik semesteran telah usai. Kini tibalah saatnya Murid MI Annashriyah menerima hasil belajar mereka. Beberapa wali murid yang mendapatkan undangan duduk rapi mendengarkan pengumuman dari Bapak Muthohir selaku kepala sekolah. Di barisan ketiga, terlihat sosok kecil dengan penampilan lugu duduk disamping seorang laki-laki penuh wibawa dan kasih sayang. Nama gadis itu adalah Nabila. Sedangkan sosok berwibawa yang duduk disamping Nabila adalah Pak Rahmat, ayahanda tercinta. 

Tegang, semua wajah memandang ke depan mimbar. Dengan suara penuh wibawa, Pak Muthohir mengumumkan hasil ulangan semester 2. Nabila, gadis kelas dua ini tidak sabar untuk mendengarkan pengumuman. Ia merasa gugup dan takut. Denyut jantungnya seperti mau copot dan wajahnyapun pucat menahan rasa gugup. Pikirannya gusar dan tidak berkonsentrasi. Kakinya seolah ingin ke kamar mandi. Ia tidak tahan menunggu saat-saat yang begitu mencengangkan ini. Dengan sahabat tercintanya yang sedari tadi memilih untuk berdiri, Nabila dan Sintapun segera menuju kamar mandi.

”Mbak, kamu tidak diambilkan oleh bapakmu?”( tanya Nabila polos )
”Tidak, dik, kemarin bapakku tidak diberi undangan untuk datang.”
”Aku takut mbak, diantara teman satu kelas, hanya aku yang dipanggil Bu guru
dan diberi surat undangan untuk kedua orang tua. Aku benar-benar takut kalau ada masalah. Kamu tahu kan, kemarin aku ketakutan dan segera pulang? Soalnya, kemarin Irvan juga dipanggil Bu guru dan diberi surat undangan. Ternyata, dia dikeluarkan karena nakal. Sedangkan aku? Aku benar-benar tida tahu apa yang terjadi pada diriku. Aku tidak sanggup untuk kehilangan kesempatan belajar bersamamu, mbak. Aku takut kehilangan orang-orang yang aku cintai. Aku takut.”
( Sembari memeluk erat sahabat sejatinya yang setia setiap waktu )

Akhirnya... Aku tahu

Oleh: Siti Khoirotul Ula

Hujan mengguyur dengan derasnya, sementara aku masih tetap tergoda dengan kesenyapan tidur yang semakin asyik dengan suhu yang dingin ini. Tampak di ufuk sana fajar menyingsing menandakan subuh telah tiba, sesaat lagi pastilah datang muadzin mengumandangkan adzan subuh dengan begitu sahdunya. “ Allahu Akbar Allahu Akbar” Sang muadzin berkumandang. Aku masih lelap dengan nikmatnya berlayar di pulau kapuk tanpa memperdulikan panggilan Allah, aku tidur, aku terlelap dan aku membiarkannya berlalu begitu saja. Sampai fajar sudah tidak menampakkan keindahannya dan digantikan oleh sang mentari yang siap dengan sinarnya yang menyengat bumi nan indah ini dan aku pun masih tetap tertidur.
Icha, bangun sudah berulang kali aku peringatkan kamu kalau tidur jangan malam-malam! Jadinya kamu nggak bakalan telat Sholat Subuhnya” Kata Zahra teman satu asramaku yang sangat sabar menemaniku. “ Hem…aku masih ngantuk nih “ . Jawabku seraya manja padanya. “ Kamu tahu kan apa konsekuensinya kalau kamu telat subuh, hari ini kita ada kuliyah pagi “ Zahra mulai berceloteh. “ Iya..iya neng ! aku tahu “ Jawabku sambil merasa kesal terhadapnya. Terlalu.
# # #

Kami ini Anakmu, Nyonya….!

Oleh Khoirotul Ula

Seutas tali putih, menggantung dalam rona baju birumu. Telihat samar, tapi tampak memperindah hiasannya. Dandananmu yang ayu, membuatmu sepuluh tahun lebih muda dari aslinya. Dengan ditemani tas jinjing dan sapu tangan mahal, kau kenakan selendang warna biru muda itu dan berkipas-kipas ria. Perawakanmu bagaikan priyayi, yang setiap harinya hanya sibuk merawat tubuh.

Tiba saatnya kau turun dari mobil yang mengantarkanmu ke tempat tinggalku yang kumuh ini. Di tempat ini aku tinggal bersama lelaki yang telah memberimu keturunan. Dia sekarang sakit-sakitan. Hanya bisa bekerja sampai setengah hari saja. Penyakit telah menggerogoti paru-parunya. Namun nampaknya kau tak begitu peduli dengannya. Kau hanya sibuk dengan selendang, dan assesories yang kau kenakan itu. Sebenarnya apa tujuanmu datang kemari? Tanyaku dalam hati. Meski kutahu, kau selalu lakukan ini pada kami.

Aku tak mau menjadi durhaka dengan tidak mengakuimu sebagai ibuku. Tapi melihat tingkahmu, aku selalu merasakan kekesalan. Kenapa kau tidak seperti wanita-wanita lain? Kuakui kau memang cantik. Dan betapa beruntungnya lelaki yang sekarang terbaring di atas ranjang usangnya itu pernah menjadi suamimu.
Sejenak kau melirikku. Aku paham, kalau wajahku ada sedikit kemiripan denganmu. Meski kulitku tak sehalus kulitmu, setidaknya aku mewarisi warna putih kulitmu. Aku sedikit merasa senang dan tersipu saat kau menyuruhku mengambilkanmu minuman. Tapi, rasa senangku kontan berubah menjadi kekesalan ketika kau perlakukan aku layaknya jongos di rumahku sendiri.
Kami mengerti, kau sering mengunjungi kami dan memberikan uang pada kami. Tapi bukan berarti kau perlakukan lelaki itu sedemikian remehnya. Dia bukan pengemis. Kami pun bukan pengemis. Kami sudah merasa sedikit bahagia dengan rizki yang Tuhan limpahkan pada kami. Meski kami harus tertatih-tatih mengaisnya. Kenapa kau begitu tega?” desahku dalam hati.

Di Bawah Redup Rembulan Merah

Oleh: Akhi Dirman Al-Amin



Langit pucat. Pelangi meninggalkan spektrum cahaya yang cemerlang menjilat bumi, setelah bebe rapa waktu yang lalu hujan diam-diam mengayur bumi dengan segenap pongahnya. Kedinginan merayapi waktu.
Dua ekor burung kecil gemetar di antara daun – daun. Meringkuk. Basah kuyub. Kedinginan itu semakin terpeta. Menggigil menusuk tulang.

Perempuan itu berdiri di atas lamin yang telah arang. Sejenak, ia tutup matanya. Merasakan kehampaan yang nyalang menyelimuti tubuhnya.
Demi Jata! Ia tak ingin membenci siapapun. Tidak juga ketika suaminya dikayau oleh entah siapa. Ia hanya menangis memeluk Ngo, anaknya, buah cintanya dengan dengan lelaki langit itu. Dengan tangan terbuka ia terima segalanya: jiwanya yang nanah dan luka-luka yang memerah dalam dirinya.

Perempuan itu meraba telinga dan lehernya. Merasakan tangannya dingin menyentuh sabau dan uleg yang anggun menonjolkan kecantikannya. Ia bayangkan ketika upacara menua yang sakral itu menyatukan hati mereka.


HUTAN PINUS

Oleh: Muhammad Taufiq

Ini saatnya kuceritakan kepadamu. Sementara angin masih bergetar di daun-daun pohon pinus. Sementara hara masih terserap sempurna oleh akarnya. Sebelum segalanya berubah.

Ini saatnya kuceritakan kepadamu. Tentang angin yang selalu berkubang dalam hutan. Tentang hewan-hewan yang selalu berbisik pada musim. Selalu berbisik. Sebelum segalanya berubah.
Aku tahu segalanya pasti berubah. Aku tahu ini akan menyakitkanmu. Bahkan diriku sendiri. Tapi kau pun tahu bahwa aku tidak akan meninggalkan hutan ini. Karena aku harus menjaga agar evolusi berjalan setahap demi setahap. Karena aku ingin menjadi saksi pinus kecil tumbuh lalu beranjak remaja. Aku harus memastikan akar-akarnya mencengkeram kuat pada bumi hingga dapat menyerap sempurna hara –ruh leluhurnya. Agar pinus kecil dapat belajar dari yang telah lalu. Agar pinus kecil tahu bagaimana cara menyangga bumi. Agar pinus kecil dapat tumbuh besar dan kekar hingga menembus langit.